Kamis, 18 Juni 2009

SBY menghadang JK dengan Pilpres Satu Putaran

oleh : Mukti Amir

Tantangan bagi kedua pasangan pesaing SBY-Boediono untuk pilpres untuk jangan satu putaran, karena jika terus dimunculkan maka bukan mustahil masyarakat akan terpengaruh dengan isu penghematan anggaran dan calon yang pro efisiensi. Cara untuk menghadang deseminasi isu itu adalah dengan ikut mengkampanyekan melalui media massif terhadap kemungkinan pilpres dua putaran dari hasil survei yang berbeda. Semakin banyak hasil survei yang dirilis maka makin mengaburkan opini masyarakat karena di sini opini dipengaruhi survei, terlepas dari siapa yang mendanai survei tersebut.


JK-Wiranto akhir-akhir ini menjadi pesaing yang banyak diserang oleh SBY memberi tanda bahwa pesaing kuatnya adalah JK bukan Mega. Dugaan bahwa jika terjadi putaran kedua akan menyulitkan SBY untuk memenangkan pilpres terlihat dari makin menurunnya elektabilitas SBY dari hasil survei di awal Juni 2009. Jika begitu dengan sisa waktu kurang lebih dua puluh hari lagi pasangan JK harus memanfaatkan debat untuk disamping memaparkan visi misinya juga harus berani "menembak" SBY dengan mengatakan prestasinya dan keberaniannya mengambil resiko dalam setiap kebijakan selama di pemerintahan.

Kekhawatiran lain dari SBY bahwa jika pilpres dua putaran diperkirakan pada bulan juli dan Agustus adalah masa-masa sulit dari kondisi ekonomi yang dapat memaksa pengambilan kebijakan yang tidak populis karena tertekan harga minyak dunia yang sedang dan akan terus naik. Hal ini yang akan membuat elektabilitas SBY yang akan makin menurun disamping kemungkinan koalisi JK-Wiranto dengan Mega-Prabowo atau sebaliknya. Dengan satu putaran saja dibutuhkan ikhtiar kuat dari SBY-Boediono dengan syarat Undang-undang pilpres yang mengharuskan menang di limapuluh persen lebih secara nasional dan menang di separuh atau tujuh belas propinsi yang ada di Indonesia.

Dari hasil survei LSI jika SBY memperoleh lima puluh persen lebih bahkan LSI Denny JA tujuh puluh persen lebih menang mutlak tidak dapat memberi gambaran secara spesifik apakah memenangkan syarat Undang-undang. Kita lihat saja nanti hasilnya karena selama ini hasil survei LSI selalu jitu karena opini mengikuti survei.


Rabu, 29 April 2009

SBY Vs Koalisi Besar

Setiap hari kita disuguhkan informasi seputar pemilhan presiden lewat tv, koran, internet dilengkapi dengan analisa pengamat. Yang paling santer diberitakan adalah isu siapa pasangan capres. Saat yang hampir bersamaan partai-partai politik besar maupun menengah menggelar pertemuan nasional salah satunya untuk membahas cawapres.

Di kubu Mega lebih cocok jika dipasangkan dengan Prabowo karena keduanya memiliki platform yang sama yakni beroposisi terhadap calon incumbent SBY. Sedangkan dengan JK akan menyulitkan kubu sendiri bila ingin menyerang kelemahan pemerintahan SBY. Di kubu Cikeas SBY lebih cocok jika menggandeng Hatta Rajasa dibanding Hidayat N Wahid karena SBY lebih dekat dan nyaman dengan Hatta selama di kabinet. Tapi hambatannya adalah DPP PAN kurang menyukai sikap Hatta yang berseberangan dengan garis partai. Begitu juga halnya dengan Soetrisno Bachir sendiri selaku Ketua Umum PAN pasti juga punya kepentingan lain yang selama ini sudah mengeluarkan biaya yang banyak untuk partai.

Dengan HNW sama saja memberi ruang membesarkan calon kompetitor demokrat di 2014 nanti. Tapi PKS masih punya posisi tawar yang lebih tinggi dari perolehan suara partai lain seperti PAN dan PKB. Yang paling menarik adalah siapa calon JK yang akan diambil sebelum tanggal 3 Mei 2009 kalau dianalisa yang paling dekat adalah Wiranto atau Prabowo. Dengan dua orang ini apakah akan terjalin kesepakatan koalisi besar, bagaimana dengan Megawati sendiri apakah ia rela atau terpaksa mundur. Ataukah akhirnya tidak akan pernah tercapai koalisi besar yang ada Megawati akan maju berpasangan dengan Prabowo. Dalam politik segala kemungkinan bisa saja terjadi bila tidak ingin menemui jalan buntu. Karena politik akan menemukan jalannya sendiri.

Tentu urusan koalisi siapa memilih siapa tidaklah mudah, kita cukup dipusingkan dengan berbagai manuver para elite politik apakah mereka betul memikirkan rakyat atau hanya untuk kepentingannya saja. Patut terus disimak.

SBY TETAP MEMILIH GOLKAR, Siapa figur Cawapres Loyal?

PKS ngancam kubu SBY keluar dari rencana koalisi kalo berkoalisi dengan Golkar. Sementara kubu JK juga terpancing menanggapi fungsionaris PKS Anis Matta dengan berusaha mempengaruhi SBY untuk tidak melibatkan PKS. Kalo petanya seperti itu hitung-hitungannya apakah SBY berani memilih salah satunya. Ada yang memprediksikan SBY akan tetap menang dipasang dengan siapapun.

Masalahnya lainnya adalah SBY butuh pemerintahan yang stabil. Jika sudah begitu apakah JK berani mencalonkan diri sebagai capres kalau proposal ditolak SBY. Kubu SBY bisa saja sedikit berani mengambil tokoh golkar lainnya seperti sultan atau Akbar Tanjung. Tentu kalau kalah struktur kepemimpinan di partai golkar akan berubah, ini yang tidak diingini JK. Tengok saja munas di Bali saat Akbar digeser JK. Jadi SBY bisa saja lebih leluasa menentukan arah koalisinya. Tapi faktor pengalaman tandem dengan JK lebih nyaman aman atau tidak bisa menjadi pertimbangan melanjutkan duet SBY-JK. Kita tunggu saja.

Seandainya SBY secara eksplisit saja mengatakan bahwa dia tidak tertarik lagi berduet dengan JK tentunya Golkar tidak terlalu lama ambil sikap. Sinyal kriteria calon wapresnya mengarah ke calon lain, bahwa SBY membutuhkan cawapres yang loyal tugasnya sebatas membantu presiden. Kita tahu kalau beberapa kali terjadi hubungan kurang harmonis bahkan ada persaingan kecil diantara keduanya. Puncaknya pada kampanye dengan jargon lebih cepat lebih baik menyinggung SBY. Manuver JK menjajaki koalisi Golden Triangle menambah faktor-faktor yang diantaranya menjadi pertimbangan SBY mengirimkan sinyalemen penolakan terhadap JK. SBY memerlukan good boy.

Kalau sudah begitu rapimnas khusus partai golkar sebaiknya menetapkan capresnya sendiri. Kira-kira siapa yang dilirik SBY sepertinya masih tetap mengambil tokoh golkar dengan dasar membentuk pemerintahan koalisi yang kuat. Siapa orangnya yang memenuhi lima kriteria itu yang pasti mau dijadikan ban serep.

Selasa, 28 Oktober 2008

Tipisnya Peluang Capres Muda


oleh : Mukti Amir

Delapun puluh tahun sumpah pemuda dideklarasikan menandai kesepahaman bersama elite-elite pemuda yang menginginkan lahirnya bangsa (nation) yang satu menuju cita-cita sebuah negara (state) Indonesia. Menjadi catatan sejarah bahwa dengan modal semangat muda negara kita berdiri kemudian tahun 1945. Selama beberapa fase kaum muda mampu membuat beberapa perubahan penting dalam proses antitesa. Sebut saja pasca kemerdekaan tahun 1966 orde lama tumbang, tahun 1998 orde reformasi menggantikan rezim orde baru semuanya dihasilkan oleh semangat muda kaum pemuda.

Koneksinya dengan keadaan saat ini dimana kaum muda juga memiliki memiliki hasrat untuk mengulang sejarah kepemimpinan Soekarno dan Soeharto yang masih dikategorikan sebagai pemuda saat menjadi Presiden RI. Pemuda saat ini menyebut dirinya layak disebut kaum muda yakni yang berusia 40 tahun sampai 50 tahun, ingin bersaing dengan kaum tua yang sudah uzur untuk maju dalam pemilihan Presiden 2010 nanti. yang tua tidak masalah dengan keinginan itu juga menantang pemuda untuk maju dalam pilpres.

Apakah perkembangan ini lantaran latah-latahan dengan pilpres di Amerika Serikat, dimana salah satu kandidatnya Senator Barack Obama adalah calon kuat dari polling yang paling mutakhir berpeluang menuju gedung putih. Yang jelas isu ini dianggap menguntungkan oleh beberapa orang muda sebagai momentum untuk menggantikan status quo yang sudah tua. Beberap nama yang beredar diantaranya Yudi Chrisnandi saat ini menjadi anggota DPR RI, bahkan ada yang sudah beriklan seperti Rizal Mallarangeng, dari segi kepopularitasan mereka masih kalah diantara beberapa muka-muka lama menjadi pesimistis dapat bersaing. Apalagi tidak didukung oleh partai yang notabene menjadi satu-satunya kendaraan yang layak untuk maju dalam pilpres. Apalagi syarat ketentuan dukungan 20 sampai 25 persen yang di usulkan oleh Partai-partai besar di DPR RI menjadi sandungan terbesar orang muda menjadi capres, satu-satunya harapan adalah dari jalur calon independen (perseorangan).

Amerika Serikat sistem pilpres memungkinkan orang muda seperti Obama menjadi capres karena didukung mekanisme konvensi yang digelar oleh Partai Politik, di Indonesia sangat sulit karena oligarki politik masih sangat kuat yang muda harus antri dari yang tua (senior), dan yang bermodal kecil tidak bisa bersaing dengan pemilik modal ekonomi untuk menjadi ketua umum Partai besar seperi Golkar dan PDIP. Karena faktanya bahwa Ketua Umum sudah pasti menjadi capres, berbeda dengan AS dimana ketuanya berfungsi sebagai manajer dalama membesarkan partainya. Tapi harapan pemuda untuk menjadi RI I masih ada seperti Hidayat Nurwahid yang didukung oleh PKS dengan catatan perolehan suaranya signifikan untuk dapat menggandeng teman koalisi.

Sekali lagi harapan bagi pemuda untuk bersaing masih besar agar pilpres nanti lebih segar lagi jika tidak hanya diisi wajah-wajah lama yang masih mau lagi bertarung.

Jumat, 19 September 2008

Daftar Caleg Suara Terbanyak

by: Mukti Amir

Partai-partai politik besar semacam Golkar, PDI-P, Partai Demokrat, dan PAN mengusung perubahan Undang-Undang Pemilu yang menginginkan daftar calon terpilih tidak lagi berdasarkan nomor urut tapi dengan perolehan suara terbanyak dari caleg (calon anggota legislatif).

Ini menandakan bahwa perubahan besar seperti yang dimaksud pada tulisan sebelumnya bahwa yang bisa merubah sistem pemilihan anggota legislatif yang memberikan kesempatan masyarakat memilih orang bukan semata-mata nomor urut atau dominasi partai politik. Ternyata perubahan itu lebih lebih cepat dari yang diperkirakan, partai politik sementara ini mensiasati UU Pemilu yang masih menggunakan daftar nomor urut dengan membuat surat pernyataan dari caleg yang bersedia mundur jika suaranya lebih kecil.

Walau demikian latar belakang keinginan tersebut bukan dipengaruhi oleh kekauatan pasar tapi lebih pada kuatnya tekanan konflik perebutan nomor utur sehingga mkanisme nomor urut dihilangkan. Ditambah lagi perubahan tersebut tidak dibarengi perubahan internal partai dalam penjaringan bakal caleg.

Masih sangat jauh dari harapan bahwa proses rekruitment caleg masih kental kekuatan modal dan basis kekerabatan. Lihat saja beberapa partai politik yang mengusung nama-nama baru yang tidak lain adalah anggota keluarganya seperti Dave Laksono anak dari Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono, begitu juga Amin Rais yang anaknya maju sebagai caleg Partai Amanat Nasional.

Minimnya pngalaman berpolitik mempertanyakan sejauhmana selektifitas pasar dan kapabiitas sang caleg oleh tiap partai baik di tingkat DPR-RI, Provinsi maupun kabupaten/Kota apakah jalan proses kaderisasi. Namun ada beberapa kemajuan di beberapa partai politik yang merektut nama-nama pengamat politik ataupun beberapa pakar ekonomi yang berkualitas untuk maju pada pemilu 2009 nanti.

Bagaimana komentar anda.



Selasa, 15 April 2008

Harapan pada Pemilu Menuju Sistem Politik Pasar

Pemilihan Umum tidak lama lagi akan digelar di Indonesia yang rencananya bulan April 2009 untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, kemudian disusul pemilihan Presiden dan wakil Presiden yang dilakukan secara terpisah. Atmostfirnya kian terasa setelah mulai dibukanya tahapan pendaftaran partai politik peserta pemilu oleh KPU. Ada 67 parpol yang telah mengambil formulir yang nantinya akan diverifikasi secara administrasi maupun faktual kecuali parpol lama yang memiliki kursi di DPR bisa langsung mendapat tiket untuk berlaga di pemilu 2009 nanti.

Dari Undang-Undang tentang pemilu yang telah disahkan di DPR tercatat beberapa kemajuan diantaranya diberlakukannya mekanisme Parlimentiary Treshold (PT) merupakan ambang batas suara 2,5 persen sebagai syarat minimal sebuah partai politik untuk diiukutkan dalam perebutan kursi di DPR RI jika suara sahnya kurang dari itu maka tidak diikutkan. Hal ini membawa konsekuensi lebih beratnya perjuangan partai kecil (baru) untuk menembus PT tersebut, dan secara alamiah menimbulkan efek jera bagi orang untuk membnetuk partai baru di kemudian hari. Dibanding sistem dulu walaupun sebuah partai politik perolehan suaranya kecil tetapi masih bisa diikutkan dalam penghitungan kursi dan walaupun tidak memenuhi Electoral Treshold (ET) merubah nama atau bergabung dengan partai lainnya dapat mengikuti pemilu berikutnya. Dengan sistem PT akan menghasilkan lebih sedikitnya jumlah partai politik di parlemen akan memudahkan pengambilan keputusan, dan lebih baik bagi kualitas demokrasi, contohnya di negara yang sudah mapan sistem demokrasinya jumlah partainya lebih ramping.

Perubahan lain yang tidak membawa kemajuan adalah sistem proporcional terbuka terbatas dengan masih ditetapkannya calon anggota DPR terpilih berdasarkan nomor urut, kalaupun sanggup memenuhi ambang batas minimal 30 persen Bilangan Pembagi Pemilu (BPP) yang dirasa amatlah berat. Masih kuatnya dominasi partai dalam penentuan siapa calon dan berapa nomor urutnya membatasi orang yang dinilai layak dan popular, tapi tidak mengakar di partainya untuk menjadi calon legislatif utamanya di partai politik besar yang diprioritaskan berdasarkan senioritas, memiliki kedekatan dengan pimpinan partai atau karena mempunyai kekuatan uang untuk membeli nomor urut. Jadi selamat tinggal buat orang muda, tak memiliki modal ekonomi, kecuali dapat nomor sepatu yang hanya menjadi embel-embel atau pelengkap penderita. Syarat 30 persen keterwakilan perempuan dapat menjadi kesempatan bagi perempuan untuk duduk di parlemen tapi jangan terlalu senang jika syarat itu hanya dijadikan formalitas oleh partai politik.

Paradigma sistem yang dihasilkan oleh partai yang isinya terdiri dari orang status quo otomatis tidak akan berubah sepanjang kondisi ini juga linear status quo masyarakat. Dalam arti tidak ada kesadaran atau rasionalitas politik yang tinggi untuk tidak memilih calon yang tidak diketahui rekam jejaknya (track record). Satu-satunya yang bisa memaksa untuk berubah adalah “pasar suara”. Ke depan menjadi peringatan dini bahwa popularitas menjadi syarat penting yang dapat menggantikan pola rekruitmen berbasis struktural dengan yang berbasis pasar. Tapi juga ini bisa kontra prokduktif jika yang dipasang adalah orang populer tapi tidak berkualitas sehingga rekam jejak penting untuk menjadi parameter pemilih.

Mekanisme rekruitmen politik seperti sekarang ini dapat juga menghasilkan kader kutu loncat atau karbitan. Di negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, untuk menjadi anggota partai politik memang lebih sulit dan lebih selektif terlebih dulu melalui proses perekrutan dari struktur yang terbawah, misalnya terlebih dulu seorang kader politik baru harus magang politik di DPR dan seterusnya. Di Indonesia jauh lebih mudah dalam artian bisa potong jalur misalkan seorang artis yang karena dianggap populer bisa langsung menjadi caleg sehingga kualitasnya juga diragukan.

Sedangkan perubahan yang membawa kemajuan yaitu UU Pemilu DPR, DPD, DPRD yang baru saja disahkan memberikan perbaikan tingkat akurasi dan validasi data pemilih, dengan memberikan waktu yang cukup panjang bagi petugas pemutakhiran data, PPS untuk mendata dan memperbaiki data pemilih sementara hingga data tetap pemilih. Mekanismenya pemutakhiran data diselesaikan paling lama 3 bulan setelah diterimanya data kependudukan. Daftar Pemilih Sementara (DPS) disusun paling lambat 1 bulan Sejak berakhirnya pemutakhiran data. DPS tersebut diumumkan kepada masyarakat selama 7 hari untuk mendapat tanggapan dan masukan. Salinan DPS juga harus diberikan PPS kepada yang mewakili peserta pemilu di tingkat desa/kelurahan untuk mendapatkan masukan dan tanggapan. Masukan dari masyarakat dan peserta pemilu diterima oleh PPS paling lama 14 hari Sejak hari pertama DPS dimumkan. Kemudian DPS yang sudah diperbaiki oleh PPS diumumkan kembali selama 3 hari untuk mendapat tanggapan dan masukan masyarakat dan peserta pemilu. Setelah itu PPS wajib memperbaiki DPS paling lama 3 hari setelah berakhirnya pengumuman dan setelah itu disampaikan ke KPU melalui PPK untuk disusun dalam daftar pemilih tetap. Dan juga PPS harus menyerahkan DPS akhir tersebut ke perwakilan peserta pemilu tingkat desa/kelurahan.

Masalah yang krusial juga adalah penggelembungan suara dari calon atau peserta pemilu tertentu, Kemajuan lainnya pada UU Pemilu yang baru dimana mulai dari KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang berada di tiap TPS diwajibkan untuk memberikan satu eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara kepada saksi peserta pemilu, pengawas pemilu lapangan, PPS,dan PPK melalui PPS pada hari yang sama, dapat mengantisipasi terjadinya praktek penggelembungan suara. Dan PPS wajib mengumumkan salinan sertifikat hasil penghitungan suara dari seluruh TPS dari di wilayah kerjanya di tempat umum. Kemajuan lainnya adalah dimungkinkannya lebih cepat penyelesaian pelanggaran pemilu sudah selesai lima hari sebelum KPU mengambil keputusan hasil sehingga ada kepastian hukum penyelesaian pelanggaran.”

Catatan penting menjadi harapan bagi pelaksanaan pemilu ke depan yang lebih baik adalah membuat sistem yang mengakomodir tuntutan perubahan dengan merubah sistem politik yang lebih pro pasar mulai dari proses rekruitmen politik secara selektif melakukan pengkaderan sehingga menjadi caleg yang teruji pengetahuan, dan pengalaman politiknya, serta memiliki rekam jejak yang baik sehingga tidak saja popular tetapi juga berkualitas yang dapat dijual ke pasar. Namun pasar perlu mempertegas posisinya pada pemilu 2009 nanti apakah masyarakat pemilih akan lebih selektif menempatkan suaranya pada calon yang kapabel dan akseptabel. Jika masyarakat masih memilih calon berdasarkan nomor urut saja maka para anggota tidak akan membuat produk undang-undang yang pro pasar, sistem pemilu 2014 nanti tidak akan terjadi perubahan yang membawa kemajuan bangsa dan negara. Sehingga kekuatan pasar pada pemilu 2009 sangat dibutuhkan untuk memaksa para pembuat kebijakan dan aturan yang pro rakyat. Mempermudah tapi mekanismenya dari bawah, bagi para pakar (intelektual) yang memiliki kemampuan diharapkan dapat mengikuti proses rekruitmen dari bawah sehingga juga memiliki pengalaman politik yang handal. Keterwakilan perempuan hendaknya tidak sebatas prosudural, substansinya adalah perempuan harus memiliki kualitas dan pengalaman yang bisa bersaing di “pasar politik”. (MA)

Kamis, 06 Maret 2008

Sialnya sang jaksa; Pengusutan kasus BLBI dilimpahkan ke KPK saja

Oleh: Mukti Amir

Setelah kasus penyuapan yang melibatkan seorang anggota Komisi Yudisial Irawady Joenoes, kini satu lagi peristiwa yang menggegerkan dunia hukum di Indonesia adalah Urip Tri Gunawan seorang jaksa yang baru-baru ini tertangkap basah telah menerima uang 660.00 dollar AS atau sekitar Rp.6,1 miliar di kediaman Mantan Presiden Direktur Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) minggu 2 Maret 2008.

Tidak lazim jika seorang jaksa yang tadinya ditugaskan sebagai Kepala Tim Jaksa Pemeriksa Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk Bank BDNI mendatangi rumah seorang yang pernah diperiksanya untuk alasan melakukan transaksi jual beli permata. Sulit rasanya mengelak dari tuduhan penyalahgunaan jabatan, apalagi Jaksa Agung Hendarman Supandji langsung mengatakan aparatnya itu harus dituntut seberat-beratnya. Karena sebagai seorang yang paham konstruksi hukum, seharusnya seorang Jaksa tidak melakukan hal itu.

Kuatnya otoritas institusi Kejaksaan sebagai penuntut dalam perkara korupsi menjadi moral hazard bagi jaksa untuk ambil untung dengan sang tersangka melalui tawar menawar (bargaining). Nasib sial saja yang mengakibatkan tertangkap tangannya Urip. Seorang jaksa atau oknum aparat dapat menggunakan segala kekuatannya menekan sang tersangka yang terlibat kasus besar seperti Korupsi. Mungkin saja dibalik dihentikannya proses hukum pidana BLBI pada Bank BCA dan BDNI oleh Kejaksaan ada kesepakatan ekonomi dikaitkan dengan tertangkapnya sang jaksa. Jika tidak bagaimana mungkin Sjamsul Nursalim mau menyerahkan uang sebesar itu sebagai tebusan dari “penyanderaan” kasus hukumnya atau sebagai tanda terima kasih. Ironi memang memberantas kasus korupsi dengan melakukan korupsi, seharusnya menyapu lantai kotor dengan sapu yang bersih.

Pukulan terberat bagi Kejaksaan Agung sebagai ujung tombak penegakan hukum dan pemberantasan korupsi tercoreng dengan perbuatan yang dilakukan aparatnya. Tindakan memalukan tersebut harus diusut dan diselidiki sedalam-dalamnya siapa saja yang terlibat dalam kasus ini. Apalagi ini bisa jadi kejahatan terstruktur yang tidak hanya melibatkan seorang saja, jadi kejahatan di Kejaksaan Agung harus segera dibongkar.

Di tengah berbagai pihak sedang mempertanyakannya penutupan kasus Urip ini seakan membuka jendela baru peninjauan kembali dari penghentian kasus dua obligor bermasalah yang kontroversi tersebut. Ada apa bekas bos Bank BDNI mau menyerahkan uang dalam jumlah yang sangat besar untuk seorang jaksa belum lama setelah dihentikannya kasus perkara pidana BLBI. KPK harus mengambil alih penyelidikan kasus ini dan membuka kembali bagi pengusutan dari Kejaksaan Agung. Kita tunggu saja kinerja aparat pemberantas korupsi supaya tidak adalagi yang berani bermain mata dengan hukum, jika tidak BLBI masih akan memakan korban.